Jumat, 07 Juni 2013

Menghayati Iman Dalam Era Digital



Intisari dari Kursus Pendidikan Iman (7/5) yang dibawakan oleh Rm. C.Putranto, SJ
Tahun iman ini yang  dicanangkan bersamaan dengan peringatan 50 Tahun pembukaan Konsili Vatikan II dan 20 tahun penerbitan Katekismus Gereja Katolik, diadakan dengan maksud agar orang semakin bersyukur dan bangga atas imannya. Diharapakan agar orang semakin tekun mendalami warisan iman (yang dalam bahasa tradisi disebut “fides quae”), agar mampu mempertanggung jawabkan secara lebih dewasa dan mampu mewartaknnya secara lebih meyakinkan.  Menemukan kembali pengalaman iman agar kegembiraan dan entusiasme perjuangan dengan Kristus dapat terpancar lagi. Menemukan kembali cita rasa akan santapan sabda Allah dan Roti Kehidupan. Menemukan kembali isi iman yang diikrarkan, dirayakan, dihayati dan didoakan. Merefleksikan tindakan beriman itu sendiri.
I.                    Berziarah masuk era digital.
Berziarah  memang berupa penjelajahan, namun yang khas adalah bahwapenjelajahan itu dengan maksudmencari Tuhan. Dunia digital, dunia kita sekarang ini mengundang untuk diziarahi. Memang harus disadari bahwa era digital ini ditandai dengan “digital divide” dalam beberapa artinya : pertama, dalam arti bahwa era ini menciptakan kesenjangan antara mereka yang paham dan mampu memanfaatkan alat-alat teknolgi digital dengan mereka yang ketinggalan dibelakang, sering tanpa akses sedikitpun kesitu. Kedua, dalam arti bahwa era di awal abad ke 21 ini juga ditandai oleh hidupnya generasi yang mulai memanfaaatkan teknolgi digital namun dididik dalam zaman serta budaya sebelumnya, yakni budaya cetak, bersamaan dengan hidup pula generasi yang sudah dilahirkan dalam alam digital. Generasi yang disebut pertama disebut “imigran digital”, sedangkan generasi yang disebut kemudain disebut “pribumi digital.” Dalam era ini Tuhan tidak berhenti bercerita tentang cintaNya kepada manusia sebagaimana dalam budaya lisan dahulu kala, terutama lewat Kitab Suci yang sekarang masih menunjukkan aktualitasnya. Akan tetapi sekarang ini kisah Tuhan harus bersaing dengan aneka kisah lainnya yang menyapa indera dan merangsang selera keinginan manusia. Kisah Tuhan adalah salah satu paparan cerita lewat media modern. Peziarahan dalam budaya digital ini dijumpai aspek pertama dari sikap iman di dalamnya yaitu jeli dan waspada menemukan kehadiran Tuhan justru dalam karakteristik-karakteristik budaya digiatal itu sendiri. Kehadiran yang acapkali tersamar, namun menyapa nurani yang terdalam dan meminta tanggapan yang total.
II.                  Menjadi Orang Beriman Dalam Era Digital
Menjadi orang yang mengahayati imannya di era digital berarti secara dewasa dan sadar menghayati hubungan dengan Allah yang hidup di tengah semakin lengkapnya media komunikasi dewasa ini : Bersyukur dan bangga atas pengenalan akan Kristus serta bersemangat untuk menemukan kehadiranNya di tengah hinggar binggarnya dunia digital dewasa ini. Kesaksian Kristiani terpancar dari profil yang ditampilakan dalam dunia digital ini. Profil ini bukan hanya berupa penampilan sebagaimana kita ingin dilihat atau dikenang, melainkan juga  sepak terjang dan kiprah kita didalmnya
III.                Merasul  Dalam Era Digital
Prinsip merasul dalam zaman digital tidak lah berbeda dengan prinsip kerasulan dalam zaman-zaman sebelumnya. Apa yang sudah kita alami sebagai keselamatan dan makna sejati kehidupan, kita bagikan kepada sesama. Dalam titik-titik kehidupan ini nama Yesus penyelamat diwartakan, dikisahkan, disharingkan, dipertemukan , dipersaksikan sebagai yang memenuhi dambaan-dambaan tersebut. Hanya saja dalam zaman digital ini dambaan-dambaan tersebut perlu dicari dan dipertemukan dalam macam-macam cara orang tersambung satu sama lain di dunia virtual. Lewat jejaring di dunia digital orang dapat dalam aneka cara yang kreatif masuk dalam dunia pergaulanvirtulal dengan berbekal integritas kristiani dipadukan dengan kretivitas berkomunikasi, lewat status, lewat gambar, lewat pemberitaan, lewat sharing hal-hal yang berguna, lewar blog pribadi dan lain sebagainya. Merasul dalam dunia virtual berarti keberanian untuk menghadapkan iman kepercayaan kristiani pada pertanyaan-pertanyaan dari orang lain, entah mereka yang tidak beriman maupun beragama atau berideologi lain.

IV.                Mengahayati Iman Dalam Facebook
Sebagian mungkin cukup besar dari kita sudah masuk kedalam facebook, sebagai bagian dari keikutsertaan pada tata pergaulan zaman ini. Banyak hal yang secara langsung dirasakan sebagai manfaat dari situs jejaring sosial ini. Namun dari ini semua ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul  dan jawabannya akan menunjukan apakah kita menghayati situs tersebut secara kristiani atau kurang dari itu.
1.       Penampilan Foto Profil
Tidak ada yang mengatur untuk menampilakan foto profil dengan cara tertentu. Orang bebas memasang foto profil sebagaimana yang dikehendaki. Pertanyaan refleksi yang muncul : seberapa jujur aku dalam menampilakan diriku lewat foto profil ini? Apa yang kuharapkan sebagai kesan orang lain terhadapku dengan menyaksikan foto profil ini? Apakah pilihan cara pasang foto ini hanya sekedar memenuhi kebutuhan psikologisku akan hal tertentu dari orang lain (pengakuan, kekaguman, orang lain tak perlu tahu bahwa wajahku kurang bagus, bahwa aku punya keturunan yang cantik dll), ataukah sungguh menampilkan diriku apa adanya sebagai orang beriman yang ingin dikenal sebagai orang beriman kristiani?
2.       Nama Diri
Disini juga ada macam-macam cara orang menampilkan nama dirinya: ada yang apa adanya, ada yang memakai nama samaran, ada pula yang mengemas nama dirinya sedemikian rupa sehingga tidak cepat dikenal oleh sembarang orang selain baranng kali teman-teman terdekatnya. Dalam hal ini tercermin macam-macam sikap orang dalam menerjuni pergaulan sosial.  Ada yang apa adanya, ada yang menonjolkan jabatan serta fungsinya, ada yang tidak menginginkan publisitas, ada yang dikenal hobi dan kesukaannya saja, ada yang ingin membatasi kenalan-kenalannya, dll.  Memang setiap orang bebas menentukan maksud dan tujuannya dalam bergabung dalam jejaring  sosial, namun bila bicara mengenai sikap iman di sini, tentu kejujuran dan ketulusan harus tampak dalam menampilkan nama diri.
3.       Teman-teman
Tidak dapat disangkal bahwa jejaring sosial memberi kesempatan untuk mendulang kenalan-kenalan baru. Akan tetapi dengan terkumpulnya ratusan bahkan ribuan orang, orang tak menyadari , kualitas macam apa dari relasi yang ingin kita jalindengan teman sebanyak itu, dan dampak apa yang dihasilkan terhadap pandangan orang tentang relasi pertemanan dan persahabatan itu sendiri (khususnya di dunia nyata). Ini semua   membawa pertanyaan kepada makna pertemanan, khususnya makna persahabatan sejati, yang membutuhkan waktu dan proses, membutuhkan perjumpaan nyata yang teratur  sehingga tumbuh saling kepercayaan, dan sedikit membutuhkan suasana privat yang tidak terlalu mudah diakses oleh publik. Bagaimana yang semacam ini bisa terbina hanya secara virtual lewat facebook? Seluruh problematik ini mengajak orang untuk mendalami bagaimana Tuhan ingin dihubungi  oleh manusia dalam jalinan hubungan pribadi yang  tulen, khususnya lewat relasi tulen dengan sesama manusia.
4.       Status
Umumnya orang memasang status dalam jejaring sosial untuk mengungkapkan isi hati, perasaan yang membeban, keluhan akan situasi yang dialami atau suatu berita yang amat menarik perhatiannya. Seperti halnya dalam dunia nyata, dalam bergaul dengan orang lain, kita sering mendapat sukacita, dibuat marah, jengkel, cemburu, ingin sendirian, memuji, heran, kagum dan seterusnya. Namun di dunia nyata, umumnya kita terlatih untuk mencari forum, tempat dan saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Namun bagaimana dengan facebook? Pernyataan-pernyataan itu muncul begitu saja tanpa konteks, langsung bisa dibaca oleh orang sedunia, termasuk orang-orang yang langsung atau tidak langsung punya kepentingan dengan peryataan kita itu.
5.       Intensionalitas
Orang masuk facebook, barangkali karena dorongan mode, agar tidak ketinggalan jaman dan terasing dari pergaulan dengan teman maupun relasinya. Bila orang ingin memakai facebook sekedar supaya tidak kesepian dan mendapatkan lahan untuk mengungkapkan perasaannya. Ada pula orang masuk facebook untuk bisa memantau kegiatan maupaun pergaulan anak-anaknya. Ada juga yang masuk facebook  untuk sekedar mencari update berita, kegiatan dan peristiwa dari segenap teman dan handai taulan. Atau juga sekedar membuka dinding-dinding mereka, dan memberi tanggapan atau komentar dan tanggapan dimana dia mau. Atau orang kristiani tidak usah malu untuk memberi kesaksian tentang  “Kabar Gembira “,“Kabar Gembira “ yang  dialami dalam hidupnya sendiri, maupun “Kabar Gembira “ yang direnungkan dari kitab suci.
6.      Kerendahan Hati
Betapa besarnya pengaruh kata. Kata mampu membuat orang tertawa, menangis, mampu mempengaruhi, mengilhami, memperalat ataupun mengejutkan orang lain. Kehadiran dalam facebook sering tanpa disadari membawa orang pada anggapan bahwa lebih baik disukai banyak orang daripada menjadi diri sendiri. Suara yang muncul dari teman-teman jejaring lebih penting dan lebih didengarkan daripada suara yang muncul dari lubuk hati nurani kita sendiri. Ini merupaka rintangan terhadap sikap rendah hati, yang duiperlukan untuk hadri dalam facebook secara kristiani. Kita menjadi khawatir akan kehilangan citra sebagai (misalnya) orang yang tahu banyak hal. Maka kita takut untuk memasang status yang bernada pertanyaan atau keraguan. Kita menjadi sibuk mengolah potert diri dan pertemanan yang kita bayangkan, dan tak mau menampilkan diri sepereti nyatanya. Ini bukan sikap kerendahan hati; kerendahan hati adalah kesediaan untuk berbagi, tetapi juga kesediaan untuk menerima yang berharga dari orang-orang lain.
7.        Ketulusan
Mudah sekali dalam facebook orang membuat profil yang justru menyembunyikannya dari keadan yang sebenarnya, dan dengan profil yang tidak jelas atau bahkan palsu itu dia bergaul dengan teman-teman dalam dunia virtual. yang demikian ini tentu bukan cara kehadiran kristiani di tengah jagad virtual, apa lagi kehadiran kristiani yang merasul. Menjadi otentik tidak hanya berarti bahwa data diri yang dipasang sesuai kenyataan, tetapi lebih-lebih bahwa segala yang dinyatakan entah sebagai status, sebagai komentar ataupun dukungan sungguh muncul dari kesadaran pertimbangan dan  dari hati, bukan basa-basi, bukan iseng, bukan asal bunyi. Ketulusan dengan demikian berarti bahwa status-status yang dipasang (isinya, nadanya, caranya) sejalan dengan profil diri yang diperkenalkan di jejaring sosial tersebut. Ini merupakan ungkapan yang mengalir dari siapa saya, yang ditampilkan dalam data diri. Maka dari itu seorang yang menjadi anggota dari situs jejaring sosial seperti facebook dan twitter secara berkala perlu memeriksa kehadirannya dan merefleksikannya : apakah citra diri yang terpantul disitu sungguh mencerminkan diri sesungguhnya? Apa saja perasaan yang muncul dari pergaulan dalam dunia maya? Menilik reaksi dan komentar  dari teman-teman, apakah mereka ini terbantu, tercerahkan dan diteguhkan dengan kehadiran kita atau tidak? Apakah kehadiran dan status-status kita menimbulkan salah paham atau bahkan pertengkaran di antara teman-teman? Apakah kita sudah kecanduan akan facebook dan telah berlebihan meluangkan waktu untuknya? Sudahkah kita  meluangkan waktu untuk berdialog dengan diri kita sendiri? Apakah kita sempat untuk memberi perhatian yang lebih mendalam kepada orang-orang tertentu yang sudah kita konfirmasi pertemannya, namun sampai saat ini hanyalah menjadi nama belaka dari daftar teman-teman kita?
                                                                                                                                                                         -sigal-

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Persembahan Hati